Tradisi “Bau Nyale” dalam Masyarakat Sasak : Menangkap Jelmaan Seorang Putri Cantik Jelita, dan Maknanya
Drama Kolosal Putri Mandalika
Salah satu tradisi masyarakat Sasak di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
adalah Bau Nyale. Tradisi ini merupakan salah satu identitas suku
Sasak. Sebagai identitas, tradisi tersebut sampai saat ini tetap
dipertahankan eksistensinya (dilestarikan) oleh masyarakat pendukungnya.
Tradisi Bau Nyale dikenal dalam masyarakat yang bertempat tinggal di
pesisir pantai pulau Lombok bagian selatan, terutama di pesisir pantai
selatan Lombok Timur (pantai Kaliantan, Sungkun dan sekitarnya,
Kecamatan Jerowaru) dan Lombok Tengah (pantai Kuta, Seger dan
sekitarnya, Kecamatan Pujut). Tahun ini, upacara (pesta) Bau Nyale
digelar di pantai Kaliantan, sejak tanggal 30 Januari – 2 Pebruari 2013,
yang disi oleh berbagai jenis hiburan, menyertai pelaksanaan kegiatan
tradisi pokok Bau Nyale.
Drama Kolosal Putri Mandalika
Tradisi Bau Nyale masyarakat pesisir dalam pemanfaatan sumber daya alam
pesisir dan lautan ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Tradisi ini
sudah ada sejak lama, tetapi kapan kepastian waktu (tahun) dimulainya,
belum jelas. Menurut informasi dari masyarakat setempat berdasarkan isi
babad, mulai dikenal dan diwariskan secara turun-temurun sejak sebelum
abad ke-16 Masehi (masih perlu dibuktikan atau dikaji secara ilmiah).
Tradisi Bau Nyale berarti tradisi menangkap nyale (cacing laut). Bau
Nyale berasal dari bahasa Sasak. Bau berarti menangkap, dan Nyale
berarti sejenis cacing laut. Nyale termasuk kedalam kelas Polichaeta
dari filum Annelida yang hidup dilubang-lubang batu karang di bawah
permukaan laut, dan hanya muncul dipermukaan air laut beberapa kali (dua
kali) dalam setahun.
Tradisi Bau Nyale merupakan suatu kegiatan (kejadian) yang dikaitkan
dengan budaya setempat. Kejadian ini bermula dari suatu legenda lokal.
Legenda yang melatar belakanginya, yaitu legenda Putri Mandalika. Konon
menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lombok, nyale merupakan
reinkarnasi (penjelmaan) dari Putri Mandalika. Dikisahkan, putri ini
dikenal cantik dan halus budinya. Karena kecantikan dan kehalusan
budinya, banyak pangeran atau raja yang ingin mempersuntingnya menjadi
permausuri. Putri Mandalika tidak bisa menentukan pilihan. Jika ia hanya
memilih satu orang, akan terjadi peperangan di antara para pangeran
(raja). Putri yang arif dan bijak ini tidak menghendaki terjadinya
peperangan, karena rakyat juga yang akan menjadi korbannya. Oleh karena
itu, sang putri lebih memilih untuk menceburkan diri ke laut dan
menjelma menjadi nyale demi kepentingan rakyat banyak. Ia berharap
jelmaan dirinya itu bisa dimiliki (dinikmati) oleh banyak orang.
Diyakini Putri Mandalika lah yang menjelma menjadi cacing laut (nyale)
berwarna-warni. Oleh karena itu, masyarakat setempat percaya, bahwa
nyale bukan hanya cacing biasa tetapi makhluk suci yang membawa
kesejahteraan. Mereka menghormatinya dan percaya akan mendatangkan
kemalangan bagi yang mengabaikannya. Mereka yakin nyale dianggap dapat
meningkatkan kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen
yang memuaskan. Apabila banyak nyale yang keluar, hal itu menandakan
pertanian penduduk akan berhasil. Nyale yang telah mereka tangkap di
pantai, biasanya mereka taburkan ke sawah untuk kesuburan padi. Nyale
juga mereka gunakan untuk berbagai keperluan seperti santapan,
lauk-pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan
keyakinan masing-masing.
Kemah di Pantai Kaliantan
Tradisi Bau Nyale dilakukan dua kali dalam satu tahun. Upacara ini
dilakukan beberapa hari setelah bulan purnama, tepatnya pada tanggal
atau hari ke-19 dan ke-20 bulan (bulan bawak) ke-10 dan ke-11 dalam
kalender (penanggalan) tradisional Sasak. Pada umumnya jatuh pada setiap
bulan Pebuari dan Maret dalam kalender Masehi. Upacara penangkapan
nyale dapat dibedakan menjadi dua yaitu: dilihat dari waktu
penangkapannya dan dilihat dari bulan keluarnya. Dilihat dari waktu
penangkapannya, dapat dibedakan atas “jelo bojag” atau “jelo pemboyak”
(hari percobaan, mencari ada tidaknya nyale yang keluar sebagai penanda)
dan “jelo tumpah” atau “jelo penumpah” (hari keluarnya nyale dalam
jumlah banyak). Masing-masing jatuh pada tanggal 19 dan tanggal 20 bulan
kesepuluh dan kesebelas (sekitar bulan Pebruari dan Maret). Bulan
keluarnya nyale, disebut “nyale tunggak” (nyale pokok) dan ”nyale poto”
(nyale ujung/nyale akhir). Nyale tunggak adalah nyale yang keluar pada
tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh, dan nyale poto adalah nyale yang
keluar pada tanggal 19 dan 20 bulan kesebelas. Pada umumnya, sesuai
dengan namanya, kebanyakan nyale keluar pada waktu nyale tunggak. Maka
tak heran kalau kebanyakan masyarakat menangkap nyale pada bulan
kesepuluh.
Masyarakat yang pergi menangkap nyale, memilih dua cara. Pertama,
menginap dengan membuat tenda (berkemah) untuk beberapa hari di sekitar
lokasi penangkapan dengan membawa bekal dari rumah (sitem dulu, pola
lama). Untuk sekarang ini, seiring dengan perkembangan zaman, disamping
ada yang berkemah dengan membawa bekal sendiri, dan ada juga yang tidak
membawa bekal, membeli kebutuhan makan minum di tempat itu yang telah
disediakan oleh penjual, yang sengaja datang untuk berkemah dan
berjualan. Mereka yang berkemah ini bertujuan juga untuk main atau
menonton hiburan yang disuguhkan dalam festival. Saat ini banyak juga
yang datang hanya sekedar untuk menikmati (mencari) hiburan semata,
tidak bermaksud untuk menangkap nyale dan tidak berkemah. Kedua, pergi
atau berangkat menangkap nyale pada waktu dini hari, sekitar pukul 02.00
– 03.30 wita. Mereka ini hanya bertujuan untuk datang menangkap nyale.
Sambil menunggu waktu menangkap nyale mereka duduk-duduk atau tiduran
secara berkelompok di atas pasir putih.
Fajar Menyingsing
Masyarakat melakukan upacara menangkap nyale dengan meriah dan
beramai-ramai. Nyale ditangkap oleh masyarakat suku sasak pada saat
swarming untuk dikonsumsi. Fenomena swarming merupakan peristiwa ketika
cacing laut dari jenis tertentu berkerumun dalam jumlah melimpah di
sekitar permukaan air untuk melakukan perkawinan secara eksternal.
Cacing laut (nyale) jenis Polichaeta, yang ditanggap di pesisir pantai
selatan pulau Lombok, muncul ke permukaan air laut pada saat menjelang
waktu shubuh hingga fajar menyingsing. Polichaeta berenang ke permukaan
air laut untuk melepaskan telur dan spermanya. Pada saat itulah
masyarakat menangkap cacing laut tersebut.
Beberapa waktu sebelum nyale keluar, ditandai dengan hujan deras di
malam hari yang diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai
angin yang sangat kencang (hujan angin). Malam menjelang nyale keluar,
hujan angin reda lalu berganti dengan hujan rintik-rintik, dan suasana
menjadi cukup tenang. Tetapi ada kalanya kenampakan tanda-tanda ini
tidak terjadi. Pada dini hari, menjelang waktu shubuh atau setelah subuh
nyale mulai terlihat secara bergulung-gulung atau menyebar bersama
ombak yang gemuruh memecah pantai. Ketika fajar menyingsing dari ufuk
timur nyale berangsur-angsur lenyap dari permukaan air laut kembali
masuk ke lubang karang. Waktu penangkapan berkisar antara satu sampai
dua setengah jam.
Masyarakat yang Telah Menagkap Nyale
Alat yang digunakan untuk menangkap nyale cukup sederhana. Alatnya
disebut “sorok” (alat penangkap berbentuk segi tiga atau bulat terbuat
dari jaring, kain dan bambu). Bagi yang tidak memiliki “bunok”
(penampung) pada sorok-nya, membutuhkan wadah penampung yang lain,
seperti “penarak”/“peraras” atau “keraro” (bakul yang terbuat dari
bambu), ember dan karung (digunakan juga apabila hasil tangkapan banyak,
tidak muat di-bunok). Ada juga yang mengangkap nyale menggunakan
tangan, karena tidak punya sorok dan ditampung di ember atau
penarak/keraro. Untuk pergi ke lokasi penangkapan nyale di laut, ada
yang berjalan kaki (ingat jangan lupa pakai olahraga atau sandal), dan
ada yang menggunakan sampan. Apabila ingin mendapatkan nyale yang lebih
banyak dapat juga menggunakan sampat (menangkap dari atas sampan).
Dengan sampan maka dapat menangkap sampai jauh ke tengah. Pada saat
penangkapan nyale, ada juga penduduk (penangkap) membawa dan menyorotkan
senter ke arah perairan yang diyakini bisa menarik datang/munculnya
nyale secara bergerombol ke permukaan air laut atau ke arah tepi
perairan. Secara ilmiah, dapat dijelaskan bahwa cahaya merupakan unsur
penarik kehadiran cacing ini karena bagian epitoke dari cacing laut
Polichaeta bersifat fototropik positif. Selain itu, para penangkap nyale
akan berteriak semaunya, seperti “jabut” (bulu/rambut yang banyak,
rimbun) berkali-kali, “jabut bulun pepeq’n” (maaf, bulu/ramput
kemaluan wanita yang tumbuh banyak). Menurut kepercayan mereka, hal
tersebut merangsang nyale supaya lebih banyak keluar dari lubangnya.
Disamping juga sebagai penyemangat bagi mereka yang sedang menangkap
nyale.
Jika beruntung, hasil tangkapan nyale bisa dalam jumlah banyak. Hasil
tangkapan itu oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Dari hasil penelitian
ilmiah membuktikan kalu nyale mengandung protein hewani yang tinggi.
Nyale diketahui mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti bisa membunuh
kuman-kuman/hama. Ada beberapa cara memasak nyale dalam masyarakat
Sasak. Pertama, direbus biasa (tidak dikasi ragi/bumbu), setelah
terlebih dahulu dibersihkan (membuang sampah yang ikut ter-sorok, tidak
dibersihkan dengan air), kemudian. Baru dimakan, terasa lezat dan manis
airnya. Kedua, dibuat pepesan nyale. Prosesnya setelah nyale direbus,
kemudian dibungkus daun pisang dan dibakar. Baru dikonsumsi, terasa
enak. Ketiga, “tancak” (dibut emping nyale). Prosesnya, nyale yang telah
direbus kemudian dibungkus daun pisang dan dibuatkan panggangan dari
bambu (dipanggang), serta dibakar sampai kering. Baru dikonsumsi, terasa
gurih. Keempat, dibuat sambal, nyale yang sudah direbus atau di-ancak
digoreng dan dikasi bumbu/ragi sambal. Setelah masak selanjutnya
dikonsumsi, rasanya enak, lezat dan gurih.
Nyale
Berkembangnya tradisi Bau Nyale tentu memiliki maksud dan makna yang
terkandung di dalamnya yang bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya.
Bisa dikatakan sebagai perwujudan dari usaha dan cara-cara kelompok
masyarakat suku Sasak dalam memahami serta menjelaskan realitas
lingkungannya, yang disesuaikan dengan situasi alam pikirannya (mistis).
Cara masyarakat menjelaskan atau memahami realitas seperti itu, bukan
merupakan suatu kesengajaan, tetapi memang merupakan suatu cara dalam
menangkap realitas sesuai dengan alam pikiran mereka. Tradisi yang
berkembang dan diwariskan secara turun-temurun ini memiliki nilai guna
(fungsi). Tradisi ini melukiskan kondisi fakta mental tradisi
masyarakat, simbol identitas bersama (solidaritas masyarakat), dan
menjadi alat legitimasi bagi keberadaan kolektif suku Sasak.
Perayaan atau pesta adat Bau Nyale dilakukan untuk mengenang dan
merayakan peristiwa Putri Mandalika yang menceburkan dirinya untuk
kepentingan rakyat banyak. Namun makna tersebut telah sedikit bergeser
dari makna ”enkulturasi”. Kaum muda-mudi yang merayakan pesta rakyat itu
di masa lampau dengan diwarnai api unggun dan dikelilingi para
pemmuda-pemudi yang didampingi beberapa orangtua mereka. Duduk
mengelilingi api unggun disertai “bekayaq” (berbalas pantun) yang berisi
sekitar perkenalan, merajuk isi hati masing-masing atau ungkapan
perpisahan. Disamping itu, diisi juga dengan suguhan “cilokak”,
bernyanyi dengan bahasa Sasak yang diiringi “penting” (gambus). Di
kalangan suami istri pun merupakan momen nostalgia bersama anak-anak
mereka dalam suasana kegembiraan. Namun sekarang tradisi Bau Nyale mulai
bergeser dari keaslian maknanya dan direkayasa untuk kepentingan
pariwisata.
Sarapan Sebelum Pulang dari Acara Kemah Bau Nyale
Terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, tradisi Bau Nyale
atau legenda rakyat Putri Mandalika merupakan cerita teladan yang
mengandung nilai-nilai moral yang sangat relevan untuk mendukung
kehidupan masyarakat secara kolektif atau sebagai pedoman dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak. Nilai moral yang sangat menonjol
dalam tradisi atau cerita ini adalah sifat rela berkorban, dan sikap
kebersamaan. Putri Mandalika rela mengorbankan jiwa dan raganya demi
menghindari terjadinya peperangan untuk menghindari jatuhnya banyak
korban jiwa. Masyarakat secara bersama-sama melebur dalam upacara
menangkap nyale. Sikap atau semangat kebersamaan dimunculkan atau
ditonjolkan dalam hal ini. Nilai-nilai ini mestinya dapat dikembangkan
atau dipedomani untuk mengatur tentang perilaku dan hubungan
antarindividu atau antarkelompok dalam masyarakat. Sehingga tidak perlu
terjadi bentrokan atau kerusuhan (konflik sosial) dalam kehidupan
bermasyarakat, seperti yang marak terjadi sekarang ini. Kita seharusnya
hidup damai dan harmonis. Menjunjung tinggi semangat kebersamaan dalam
kehidupan kolektif, bisa menghargai perbedaan yang ada dalam kelompok
atau antarkelompok dalam masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal suatu
masyarakat dapat memberikan keseimbangan dan ketertiban (keharmonisan)
hidup, melestarikan alam atau lingkungan hidup, dan lain-lainnya.
Pewarisannya pada generasi penerus, juga sangat bermanfaat dalam rangka
memperkecil adanya kesenjangan budaya pada generasi muda. Pewarisan yang
efektif dapat dilakukan melalui pendidikan.